Tuesday, April 27, 2010

Kisah Cinta Zainab Bintu Rasulillah S.A.W



Beliau adalah putri tertua dari rasul termulia, Muhammad bin Abdullah bin Abdil Muthalib Shallallahu ‘alaihi wasallam. Wanita mulia ini lahir dari rahim ibundanya Khadijah bintu Khuwailid bin Abdil ‘Uzza bin Qushay sepuluh tahun sebelum nubuwah. Tepatnya ketika Nabi berumur tiga puluh tahun.[1]

Zainab kecil hidup di tengah lingkungan keluarga yang penuh limpahan kehormatan dan kemuliaan. Betapa tidak? Kedua ayah ibunya merupakan orang-orang terpandang di tengah Quraisy, sebelum keadaan itu berubah dengan pengangkatan Muhammad sebagai nabi dan rasul. Hingga pada usia gadisnya, tidak sedikit pemuka-pemuka Quraisy bersaing ingin mempersunting putri Muhammad al Amin Shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Namun Allah mentaqdirkan Zainab dipersunting oleh Abu al ‘Ash[2], yang tak lain adalah putra dari bibinya dari pihak ibu, Halah bintu Khuwailid, sebelum pengangkatan ayahnya sebagai nabi. Kala itu usia Zainab belum lagi genap sepuluh tahun. Pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash ini pun semakin mengokohkan tali kekerabatan kedua keluarganya. Sungguh suaminya begitu memberikan limpahan cinta kepadanya. Hingga pada suatu saat ketika Abul ‘Ash berada dalam perjalanan menuju Syam dan meninggalkannya di Mekah, ia senantiasa teringat akan belahan jiwa tercintanya seraya melantunkan sebait syair ungkapan kerinduannya:

Ku teringat Zainab saat kubersandar pada bebatuan

Kukatakan berilah minum bagi seorang yang tinggal di al Haram

Putri Al Amin semoga Allah memberinya ganjaran karena keshalihahannya

Dan setiap suami pasti memuji orang yang sangat dikenalnya

Dari hal ini ada sebuah pelajaran yang bisa dipetik oleh para muslimah. Meskipun usia Zainab kala itu masih sangat belia, namun sungguh ia telah berhasil meraih ridha suaminya dengan ketinggian akhlak dan keluhuran budi pekertinya, yang tak lain merupakan buah dari didikan kedua orang tuanya. Cinta dan kasih sayang mereka pun semakin kokoh dengan lahirnya dua orang anak yang Allah karuniakan kepada mereka berdua, yakni Ali dan Umamah[3].

Haripun bergulir, waktu pun terus berlalu. Perjalanan waktu mengantarkan mereka untuk menyaksikan nubuwah Muhammad sesuai taqdir yang Allah tetapkan. Tanpa ragu sedikitpun, Zainab segera mengikuti jejak ibunda tercinta. Ia masuk Islam tidak lama berselang setelah sang ibu mengikrarkan keimanannya. Namun sayang, betapapun besar cinta suaminya kepadanya, hal itu tidak membuat suaminya ikut serta beriman bersamanya. Abul ‘Ash masih enggan meninggalkan keyakinan nenek moyangnya saat itu. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berfirman dalam kitabNya:

إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. 28:56)

Satu lagi keteladanan yang patut kita contoh dari pribadi wanita mulia ini. Betapapun besar cintanya kepada suaminya, namun hal itu tidak menghalanginya untuk segera beriman. Sikap Abu al ‘Ash sama sekali tidak menggoyahkan keyakinannya terhadap kebenaran risalah yang dibawa oleh sang ayah. Ketika kaum muslimin hijrah ke Habasyah kerena intimidasi yang dilakukan oleh Musyrikin Quraisy, Zainab terhalang untuk ikut serta bersama rombongan Muhajirin menyelamatkan keimanan mereka ke negeri Najasyi. Sang suami tidak mengizinkannya untuk pergi ke Habasyah. Namun kekerasan dan kekejaman yang dilakukan musyrikin Quraisy kian hari kian bertambah. Puncaknya, mereka berkonspirasi untuk membunuh Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menurunkan perintah kepada rasulNya untuk hijrah ke Madinah. Di kota ini, dakwah Islam mendapat sambutan dari para penolong agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, kaum Ashor yang telah lama meminta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk hijrah ke negeri mereka. Dua tahun setelah itu, pasukan kaum muslimin bertemu dengan kafilah Quraisy Mekah di Badr. Hingga pecahlah perang Badr Al Kubra yang berujung dengan kekalahan di pihak Quraisy. Tujuh puluh orang dari Quraisy berhasil ditawan oleh kaum muslimin. Abu al ‘Ash merupakan salah satu diantara para tawanan itu. Ia ditawan oleh seorang sahabat dari kalangan Anshor bernama Abdullah bin Jubair bin an Nu’man. Musyrikin Mekah segera mengirim utusan untuk membebaskan para tawanan mereka dengan memberikan sejumlah tebusan kepada kaum muslimin. Amr bin Ar Rabi’, saudara kandung Abu al ‘Ash, termasuk salah satu dari utusan tersebut. Ia datang untuk menebus saudaranya. Saat itu, ia juga membawa kalung yang diperintahkan oleh Zainab untuk diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tebusan suaminya. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kalung tersebut, beliau segera mengenalinya. Kalung tersebut adalah milik istri pertamanya Khadijah yang kemudian ia berikan kepada putrid mereka Zainab saat pernikahannya dengan Abu al ‘Ash. Hati beliau begitu tersentuh karena melihat kalung itu. Beliau terkenang akan istri tercintanya Khadijah. Jasanya terhadap beliau dan dakwah Islam sungguh takkan pernah terlupakan. Beliau berkata kepada para sahabat:” Seandainya kalian mau membebaskan tawanan putriku dan kalian berkenan mengembalikan kalung miliknya, maka lakukanlah!” Para sahabat berkata:”Ya, wahai Rasulullah!”. Mereka pun segera membebaskan Abu al ‘Ash dan mengembalikan kalung milik Zainab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian membuat perjanjian dengan Abu al ‘Ash agar ia mengizinkan istrinya untuk hijrah ke Madinah. Abu al ‘Ash memenuhi perjanjian itu dan ia meyakinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia tidak ingin menceraikan istrinya walaupun Quraisy menghasutnya untuk melakukan hal itu. Rasulullah pun menghargai sikap Abu al ‘Ash dan berterima kasih akan sikap baiknya kepada keluarganya selama ini. Dan tinggallah Zainab di kota Madinah bersama sang ayah.

Kemudian pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke enam hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita bahwa ada serombongan kafilah milik Quraisy yang kembali dari Syam. Beliau lalu mengutus Zaid bin Haritsah untuk memimpin 170 sahabat demi menghadang kafilah tersebut. Pasukan muslimin berhasil mengatasi mereka dan menawan orang-orang yang ada dalam kafilah serta menahan harta bawaan mereka. Para tawanan digiring menuju Madinah. Kali ini, Abu al ‘Ash kembali menjadi tawanan kaum muslimin. Karena ternyata ia ikut dalam rombongan kafilah tersebut. Ia kemudian menemui istrinya dan memohon perlindungan kepadanya. Zainab pun bersedia melindunginya. Selepas shalat shubuh, ia mengumumkan kepada orang-orang dengan suaranya yang lantang:”Wahai manusia, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abu al ‘Ash bin Ar Rabi’.” Mendengar suara putrinya, Rasulullah pun bertanya kepada para shahabat:”Wahai sekalian manusia, adakah kalian mendengar apa yang aku dengar?”. Mereka menjawab:”Ya”. Kemudian beliau berkata:”Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah aku mengetahui hal ini sebelumnya, sampai aku mendengar apa yang kalian dengar juga. Sesungguhnya kaum mu’minin adalah pelindung bagi selain mereka (orang kafir). Orang yang terdekatlah (kerabat) yang (lebih berhak) melindungi mereka. Dan sungguh kita pun melindungi orang yang telah dilindungi olehnya (Zainab)!”. Rasulullah keluar dari masjid dan menemui putrinya. Beliau berkata:”Wahai putriku, berikanlah ia (Abu al ‘Ash) tempat yang baik, akan tetapi janganlah ia mendekatimu karena sesungguhnya engkau tidak halal baginya selama ia masih musyrik”. Zainab berkata:”Sesungguhnya ia datang meminta agar hartanya dikembalikan”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menemui para sahabat dan berkata kepada mereka:”Sesungguhnya laki-laki ini (Abu al ‘Ash) adalah termasuk keluarga kami sebagaimana yang kalian ketahui. Dan kalian telah mangambil hartanya yang merupakan pemberian Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat baik kepadanya dan mengembalikan hartanya. Jika kalian menolak, sesungguhnya kalian lebih berhak atas harta itu”. Para sahabat berkata:”Bahkan kami akan mengembalikannya wahai Rasulullah”. Sikap Zainab dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini memberikan kesan mendalam dalam jiwa Abu al ‘Ash. Ia pun kembali menuju Mekah dan mengembalikan seluruh harta penduduk Mekah yang dititipkan kepadanya. Ia berkata kepada mereka:”Wahai Quraisy, adakah salah seorang dari kalian yang belum mengambil haknya?”. Mereka berkata:”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh kami mendapatimu seorang lelaki yang memenuhi amanah lagi mulia”. Abu al ‘Ash kembali berkata:”Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Demi Allah, tiada yang menghalangiku untuk masuk Islam kecuali kekhawatiran bahwa kalian akan menyangka aku memakan harta -harta kalian. Namun Allah telah mengembalikan harta kalian, (ketahuilah) kini aku telah masuk Islam”. Abul ‘Ash kemudian meninggalkan Mekah menuju Madinah untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri tercintanya.

Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh suka cita mengembalikan putrinya kepada Abul’ Ash tanpa akad nikah yang baru[4]. Maka kini terhimpunlah kembali tali cinta yang telah terserak selama enam tahun karena perbedaan prinsip keimanan. Namun sungguh takdir tak dapat dielak. Belum genap setahun mereka merajut kembali tali kasih dalam manisnya keimanan, Allah kembali memisahkan mereka dengan satu perpisahan yang takkan pernah ada pertemuan kembali setelahnya di dunia.

Pada awal tahun ke delapan hijriyah, Zainab bintu Rasulullah wafat setelah sakit yang dideritanya beberapa lama. Kesedihan mendalam kembali di alami oleh Abu al ‘Ash dengan kematian istri tercintanya. Di antara wanita yang ikut memandikan jenazahnya adalah Ummu Aiman serta dua orang istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni Saudah bintu Zam’ah dan Ummu Salamah.

Sekitar lima tahun kemudian, Abu al ‘Ash pun wafat menyusul istri tercintanya. Semoga rahmat Allah dan ridhaNya senantiasa tercurah atas mereka seluruhnya. Amin.

Maraji’ dan Mashadir:

  1. Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
  2. Al Isti’ab fii Ma’rifat al Ashab, Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr (463 H), tahqiq Ali Muhammad Al Bajawi, Daar Al Jiil, Beirut, cet I, th 1412 H.
  3. Siyar A’lam an Nubala, Adz Dzahabi, tahqiq Syu’aib Al Arna’uth, Mu’assasah Ar Risalah, cet XI, th 1422 H/2001 M.
  4. Al Ishabah fii Tamyiz ash Shahabah, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, tahqiq Ali Muhammad Al Bajawi, Daar Al Jiil, Beirut, cet I, th 1412 H/1992 M.

[1] Al Isti’ab 4/1839 dan 1853.

[2] Ada silang pendapat di kalangan sejarawan tentang nama Abul ‘Ash ini. Banyak diantara mereka yang mengatakan namanya adalah Laqith. Ada juga yang mengatakan Mihsyam, Muhasysyim, az Zubair dan Yasir atau Yasim. Lihat Al Ishabah 7/249 dan Al Isti’ab 4/1701.

[3] Ali bin Abi al ‘Ash ini meninggal pada saat menjelang usia balighnya. Sedangkan putri mereka Umamah, ia hidup sampai dewasa dan menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah Fathimah bintu Rasulullah wafat. Lihat Siyar A’lam an Nubala 2/246.

[4] Ini menurut pendapat banyak ahli sejarah. Lihat al Ishabah 7/249, Siyar A’lam an Nubala 2/249. Dahulu jika ada seorang wanita yang beriman lebih dahulu dari suaminya kemudian suaminya beriman, maka Nabi mengembalikan wanita itu kepada suaminya dengan akad nikah yang awal (dahulu). Setelah turun firman Allah surat At Taubah, maka wanita yang beriman lebih dahulu daripada suaminya, tidak boleh kembali kepada suaminya yang beriman setelahnya kecuali dengan akad nikah yang baru. Namun ada beberapa ahli sejarah, diantaranya asy Sya’bi, mengatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengembalikan Zainab kepada Abu al ‘Ash dengan akad nikah yang baru. Lihat al Isti’ab 4/1701. Wallahu a’lam.

No comments: